ngga lengkap kalau tidak berkunjung ke rumah Alm. kakek
ya.
rumah peristirahatan terakhir
mbah kakung
yang sekarang saya teruskan jejaknya
yang saat ini masih belajar arsitektur
rumahnya ada di Demen
(di eja dgn ejaan jawa, bukan batak)
desa kecil, satu 1,5 jam perjalanan dari Semarang, dekat dengan Yogyakarta
kata Ibu, keluarga besarku berasal dari sana.
Orang tua kakek beserta saudara-saudaranya tumbuh besar disana
termasuk Ibu,
juga saya.
saya ingat ketika kecil bermain di rumah Joglo, mencoba menangkap ikan di Kali, memandangi sawah yang sangat luas, berlari-lari di jalanan desa
dan menghadiri pemakaman Mbah
kakung, panggilan saya untuk kakek.
15 tahun
tidak banyak berubah
rumah joglo tua itu masih berdiri
hamparan sawah tetap menghasilkan padi
hanya banyak polesan disana-sini
saya ingat dengan gerbang masuk desa ini, yaitu tugu dengan bentuk genggaman tangan mengacungkan 2 jari sebagai simbol program KB yang saat itu sedang hip di desa-desa
tugu itu masih ada, tampak tetap dijaga dengan dilakukan pengecatan ulang
mungkin setiap tahunnya.
Rumah-rumah juga tampak tetap sama. Beberapa sudah dibangun dengan beton bersanding dengan rumah-rumah lama dengan struktur kayu.
masyarakat hidup dengan sederhana
hidup dari bertani dan beternak sapi
ada yang berbeda
berbeda dari yang sering saya rasakan di Bandung atau Jakarta
perasaan tenang, tentram
terasa aktivitas berjalan lebih lamban
sangat kontras dengan kehidupan kota
yang serba cepat, praktis, sangat berorientasi waktu dan persaingan
yang membuat jantung berpacu lebih cepat dan darah mengalir lebih deras
disini
terasa lambat, tenang
kehidupan Desa sangat menyenangkan, bagi saya.
mungkin tidak untuk penduduknya yang hidup sederhana dan hidup dgn keterbatasan teknologi yang sudah berpuluh tahun malu-malu menyentuhnya.
saya butuh suasana seperti yang saya rasakan di Demen
cukuplah satu tahun sekali.