Saturday, December 12, 2009

arsitektur : Toko Cokelat.bdg








Pendahuluan

Tidak dipungkiri lagi bahwa dunia desain seperti Arsitektur, desain Interior, dan desain produk terus berkembang mengikuti gaya hidupnya yang khas. Dalam beberapa tahun terakhir ini terjadi fenomena yang menarik di dunia Arsitektur yang berkaitan dengan gaya hidup ini Setelah krisis moneter tahun 1998, kemunculan berbagai fasilitas yang berkaitan dengan pemakaian waktu luang untuk golongan menengah ke atas. Berbagai fasilitas ini dapat berupa kafe, resto, spa, lounge, fitness centre, dan hotel butik. (Achmad Tardiyana, 2007).

Fenomena ini banyak terjadi di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dengan kemudahan sistem informasi dan komunikasi serta infrastruktur yang memadai, kota-kota besar tersebut dengan mudahnya tersentuh arus globalisasi yang menyebabkan sebuah konsekuensi yaitu menyebarnya budaya konsumerisme. Budaya ini semakin berkembang dengan bentuknya sekarang dimana seorang konsumer tidak lagi diarahkan oleh pencipta tren tetapi konsumer lah yang menjadi pencipta tren itu sendiri, seperti yang terjadi di dunia desain busana terkini. Hal ini menunjukkan kondisi dimana masyarakat lah yang menentukan cara mereka mengkonsumsi sesuatu.

Budaya ini yang mengakibatkan pembangunan fasilitas-fasilitas pemenuh kebutuhan gaya hidup masyarakat urban tersebut. Setiap fasilitas berlomba memunculkan bangunan yang tidak sekedar sebuah wadah fisik namun memberi nilai lebih berupa suasana dan ruang yang unik. Sehingga seringkali kegiatan sehari-hari diangkat pada tatanan estetik tertentu sehingga memiliki nilai dan gengsi tertentu pula (Achmad Tardiyana, 2007).

Aktifitas menyeruput secangkir kopi dapat ditempatkan pada kasta yang lebih tinggi sehingga bermunculan warung-warung kopi “executive class” seperti Starbucks, Ngopi Doeloe, Kopi Progo, Café Oh Lala, dsb.

Bandung menjadi salah satu lokasi dimana tumbuh suburnya gaya hidup beserta fasilitas pemenuhannya tersebut. Belum siapnya RTRW Kota Bandung mengakibatkan fasilitas-fasilitas tersebut tersebar acak dan kerapkali mengakibatkan bergesernya fungsi sebuah kawasan. Seperti yang terjadi di Jalan Dago, fenomena Factory Outlet telah merubah hampir seluruh fungsi kawasan yang semula residensial menjadi komersial. Fenomena serupa turut merubah wajah perumahan di Jalan Progo menjadi wajah komersial dengan munculnya café dan restoran disepanjang jalan itu.

Toko Cokelat hadir ditengah-tengah fenomena yang terjadi ini. Karya arsitektur Tan Tik Lam adalah salah satu karya arsitektur yang menjawab kebutuhan gaya hidup kontemporer selain juga menjawab konteks lingkungan Jalan Progo yang sedang bergeser dari fungsi residensial menjadi komersial secara perlahan.

Konsep Bangunan

Tidak dipungkiri bahwa perkembangan fasilitas gaya hidup ini turut memacu perkembangan arsitektur di Indonesia. Keinginan pemilik modal untuk menghadirkan sesuatu yang unik dan inovatif menjadi setali tiga uang dengan kenginginan alamiah kreativitas arsitek. Setiap fasilitas pemenuhan gaya hidup ini berlomba-lomba menciptakan sebuah bangunan unik dan menarik. Dikatakan oleh Tan Tik Lam, dalam Merancang sebuah bangunan komersial, bangunan harus memiliki point of interest dan nilai, dengan begitu diharapkan orang akan datang.

Lahirnya Konsep dari bangunan ini sendiri berawal adalah kebutuhan pemilik untuk memiliki tempat untuk berjualan. Tan Tik Lam memiliki prinsip bahwa konsep sebuah bangunan harus berasal dari pertimbangan fungsi, lokasi, dan dana. Klien dari Toko Cokelat ini cukup ketat dalam membelanjakan dananya. Oleh karena ketersediaan dana menjadi krusial karena akan menentukan konsep bangunan seperti apa yang didesain beserta keberjalanannya.

Dalam segi lokasi, bangunan ini memiliki bentuk tapak yang bisa dikatakan kurang menguntungkan. Lahannya berbentuk segitiga yang terpotong dibeberapa bagian sehingga dapat kurang maksimal pemanfaatannya. Selain itu, lokasi bangunan berada di suatu jalan atau kawasan dengan sejarah residensial sehingga butuh perhatian lebih untuk menciptakan sebuah bentukan arsitektur komersial menjadi di kawasan yang semula residensial.

Menurut Tan Tik Lam, bentuk bangunan bukan suatu konsep, baginya bentuk adalah keselarasan dengan lingkungan. Keselarasan dengan lingkungan itu diperoleh dengan mengambil pola-pola yang ada dalam kawasan.

Good design is Good Business

Pengalaman menikmati cokelat di taman dengan rindangnya dedaunan sembari bersantai bersama teman atau keluarga menjadi nilai jual yang ditawarkan oleh toko cokelat. Suasana ruangnya nyaman dan seolah-olah menyatu dengan alam.

Seluruh dinding bangunan yang menghadap taman terbuat dari kaca polos dan bening sehingga seluruh isi toko terlihat jelas dari luar dan aksen warna oranye pada dinding yang menghadap jalan menambah daya tarik orang untuk memasuki bangunan ini atau sekedar menolehkan pandangannya melihat bangunan ini.

Bentuk bangunan ini menarik dan unik. Pada awalnya sang arsitek hanya membuat bentuk atap perisai biasa namun ia kemudian mencoba bereksplorasi dengan memiringkan atap tersebut dan terciptalah bentuk atap yang seolah-olah terguling sehingga bentuknya miring. Bentuk geometris dan bentuk atap yang menarik ini adalah respon dari potensi tapak yang berada di tusuk sate pertigaan jalan sehingga bangunan tampil menjadi suatu aksen yang menarik perhatian orang yang melewati jalan tersebut.

Banyak yang mengatakan bangunan ini fotogenik sehingga sering diadakan sesi foto pernikahan dengan latar belakang bangunan ini. Pengunjung yang datang pun tidak lupa untuk menyempatkan berfoto bersama bangunan. Kegiatan yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh sang arsitek saat merancang ini pun menjadi nilai lebih dalam bangunan komersial dimana bangunan sudah memiliki poin atau nilai dimata masyarakat.

Menurut Virginia Postrel, seorang jurnalis budaya, sebuah rancangan yang berkualitas dianggap mampu memberikan sebuah nilai lebih dan dapat menjadi pemenang dari sebuah persaingan.

Rancangan Bangunan Komersial Berwajah Residensial

Menurut Tan Tik Lam walaupun Jalan Progo sudah mengalami pergeseran menuju fungsi komersial, harus tetap memiliki bentuk yang residensial. Untuk itu ia mempertahankan bentuk atap perisai seperti yang digunakan juga pada atap bangunan sekitar. Sikap arsitek yang mempertahankan pola-pola setempat membuat tampilan toko cokelat menjadi sebuah small commercial space dengan bentukan housing atau residensial.

Dalam teori Architecture in context (Brolin,1980), adalah bagaimana merancang hubungan visual yang simpatik atau selaras dengan lingkungan setempat. Menurut Brolin ada beberapa cara untuk mencapai hubungan simpatik dengan lingkungan sekitar, diantaranya adalah :

· Mengambil motif-motif desain setempat

· Menggunakan bentuk-bentuk dasar yang sama, tetapi kemudian

memanipulasikannya sehingga nampak berbeda

· Mengabstraksikan bentuk-bentuk aslinya

· Mencari bentuk-bentuk baru yang memilii efek visual yang serupa atau paling tidak

mendekati.

Dengan mengacu kepada teori tersebut, usaha mengolah bentuk dasar serta mengambil pola-pola setempat berupa atap perisai dapat disimpulkan sebagai sebuah usaha arsitektur Toko Cokelat untuk kontekstual dengan Jalan Progo walaupun dengan gaya arsitektur modern yang menjadi kontras dengan bangunan sekitarnya.

Arsitektur Modern Tan Tik Lam

Membahas bangunan ini tidak terlepas juga dari arsiteknya. Tan Tik Lam dikenal dengan proyek-proyek residensial dan kerap memenangkan penghargaan atas karya-karyanya. Ia dikenal dengan karakter bangunan yang kuat sehingga mudah dikenali.

Toko Cokelat ini merupakan salah satu proyek non residensialnya. Namun dengan fungsi yang berbeda, karakter desainnya tetap dapat dirasakan di wujud dan ruang bangunan tersebut. Menurut Tan Tik Lam sendiri, setiap arsitek harus memiliki gaya sendiri dan memiliki benang merah di setiap karyanya. Memang dulu karakter sang ayah, Tan Tjiang Ay, seorang arsitek besar Indonesia, sempat menempel di karakter desain Tan Tik Lam. Namun dengan berjalannya waktu, karakter desainnya dapat muncul sebagai gaya dan karakter arsitektur yang berbeda dengan sang ayah.

Banyak orang yang mengatakan bahwa karya-karyanya menganut gaya arsitektur minimalis, namun Ia lebih suka menggunakan makna modern untuk merepresentasikan karya-karyanya. Seringkali juga ia dicap menganut gaya arsitektur kontemporer, terutama dalam proyek Toko Cokelat ini. Ia sendiri tidak mengira akan menghasilkan gaya itu karena sejak awal desainnya tidak berangkat dari keinginan menciptakan bentuk arsitektur kontemporer namun desainnya berangkat dari konsep pemenuhan fungsi, lokasi, dan biaya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya

Namun jika kita melihat dari konteks kontemporer dengan makna kekinian, Toko Cokelat menjadi sebuah karya Arsitektur Kontemporer dengan mengusung spirit baru untuk mewadahi aspek kebutuhan gaya hidup masyarakat urban yang berkembang pesat.


andhang rakhmat trihamdani

mahasiswa arsitektur ITB 2006

Wednesday, September 23, 2009

demen


mudik ke semarang


ngga lengkap kalau tidak berkunjung ke rumah Alm. kakek

ya.

rumah peristirahatan terakhir
mbah kakung
yang sekarang saya teruskan jejaknya
yang saat ini masih belajar arsitektur

rumahnya ada di Demen
(di eja dgn ejaan jawa, bukan batak)
desa kecil, satu 1,5 jam perjalanan dari Semarang, dekat dengan Yogyakarta
kata Ibu, keluarga besarku berasal dari sana.
Orang tua kakek beserta saudara-saudaranya tumbuh besar disana
termasuk Ibu,
juga saya.
saya ingat ketika kecil bermain di rumah Joglo, mencoba menangkap ikan di Kali, memandangi sawah yang sangat luas, berlari-lari di jalanan desa
dan menghadiri pemakaman Mbah
kakung, panggilan saya untuk kakek.




















15 tahun
tidak banyak berubah
rumah joglo tua itu masih berdiri
hamparan sawah tetap menghasilkan padi
hanya banyak polesan disana-sini

saya ingat dengan gerbang masuk desa ini, yaitu tugu dengan bentuk genggaman tangan mengacungkan 2 jari sebagai simbol program KB yang saat itu sedang hip di desa-desa

tugu itu masih ada, tampak tetap dijaga dengan dilakukan pengecatan ulang
mungkin setiap tahunnya.


Rumah-rumah juga tampak tetap sama. Beberapa sudah dibangun dengan beton bersanding dengan rumah-rumah lama dengan struktur kayu.

masyarakat hidup dengan sederhana
hidup dari bertani dan beternak sapi
















ada yang berbeda

berbeda dari yang sering saya rasakan di Bandung atau Jakarta

perasaan tenang, tentram
terasa aktivitas berjalan lebih lamban

sangat kontras dengan kehidupan kota
yang serba cepat, praktis, sangat berorientasi waktu dan persaingan
yang membuat jantung berpacu lebih cepat dan darah mengalir lebih deras


disini
terasa lambat, tenang

kehidupan Desa sangat menyenangkan, bagi saya.
mungkin tidak untuk penduduknya yang hidup sederhana dan hidup dgn keterbatasan teknologi yang sudah berpuluh tahun malu-malu menyentuhnya.

saya butuh suasana seperti yang saya rasakan di Demen
cukuplah satu tahun sekali.

architectural review: Shadow Metaphor

Tulisan ini dibuat atas permintaan Bapak Eko Purwono (Dosen Arsitektur ITB) untuk mata kuliah Teori Kritik Arsitektur.
Kebetulan saat itu sedang ada Pameran Tugas Akhir Arsitektur Universitas Taruma Negara. Dan saya diminta untuk mengulas salah satu karyanya.
Karena tulisan ini dan kuliah yang menyenangkan, saya jadi keranjingan untuk menulis.... :)

tapi maaf ya ga ada gambar karyanya.... :P

the Shadow Metaphor

Karya Tugas Akhir berjudul Shadow Metaphor ini diawali oleh keinginan perancang untuk menciptakan bangunan yang mampu mengajak masyarakat untuk lebih mencintai budaya wayang di Indonesia.

Karya tugas akhir ini menjadikan wayang sebagai analogi dari bentuk massa bangunannya. Hal itu dapat dilihat dari analogi dari wayang berupa bagian Kepala-Badan-Stik yang diwujudkan dalam rencana tapak berupa bentukan massa yang terdiri dari 3 massa utama yaitu perwujudan dari bentuk Wayang. Kemudian, massa tersebut memiliki fungsi yang menjadi elemen utama dari Bangunan ini yaitu Teater Wayang Orang, BlackBox theater, dan Galeri.
Perancang banyak mengambil analogi dari Wayang. Hal serupa juga didapati pada elemen fasade bangunan.

Saya menduga perancang menganut langgam arsitektur modern-kontemporer karena hasil rancangannya tersebut banyak menggabungkan nilai-nilai lokal yang digabungkan dengan bentuk-bentuk kekinian yang seakan akan ingin merubah pemahaman masyarakat akan bentuk-bentuk arsitektur vernakular yang identik dengan sesuatu yang berbau budaya.

Satu hal yang menarik dari rancangan ini adalah pengalaman ruang yang tercipta akibat gubahan bentuk-bentuk yang sangat menarik dan eksploratif. Saya dapat merasakan dibawa melalui ruang yang sempit lalu terhenti di sebuah Lobby yang besar dengan langit-langit yang tinggi. Dari lobby itu kemudian pengguna memilih untuk melanjutkan perjalanannya akan kemana.
Ruang ruang yang tercipta menjadi menarik karena eksplorasi bentuk yang terjadi. Seperti Arsitektur Dekonstruktif Zaha Hadid atau Libeskind.

Sebagai sebuah pusat wayang, perancang sadar akan kekayaan dari Wayang di Indonesia. Banyak sekali jenis wayang di Indonesia seperti : Wayang Orang, wayang golek, atau wayang orang.
Namun dalam konsep perancangan bangunan ini, perancang seakan-akan menyisihkan wayang-wayang lain yang juga adalah kekayaan budaya Indonesia.
Analogi Bentuk maupun inspirasi elemen fasade diambil dari analogi bentuk wayang kulit dari Jawa menjadikan rancangan ini sangat “Jawa”. Hal ni bertolak belakang dari tujuan awal perancang yang ingin mengenalkan budaya wayang di Indonesia. Hakikatnya sebuah bangunan budaya tidak menjurus kepada salah satu budaya saja sehingga konsep bangunan lebih Objektif dan tidak memihak kepada salah satu budaya.

Eksplorasi bentuk yang dilakukan perancang seakan menciptakan sebuah bangunan asing di Jalan HR Rasuna Said. Bangunan dengan aksis yang tidak teratur di tengah-tengah teraturnya kawasan Rasuna membuat bangunan ini menjadi aksen jika kita lihat dari google earth.
Selain itu, bangunan yang dirancang kurang merespon kondisi Iklim Tropis di Indonesia. Banyak bidang-bidang miring dan penggunaan material kaca serta bentuk atap yang tidak beraturan sehingga rawan bocor, panas, dan saya menduga bangunan ini menjadi sangat mahal dalam biaya perawatan dan operasionalnya.

Namun, terlepas dari aspek-aspek tersebut, keberanian bereksplorasi bentuk serta pengalaman-pengalaman ruang yang tercipta menjadikan karya tugas akhir ini layak menjadi contoh untuk mahasiswa-mahasiwa Arsitektur lainnya.

Tuesday, September 15, 2009

the reason why I use canon













keren!

orang nomor satu di amerika aja pakai Canon
sama seperti saya
orang no.1 yang pakai canon A1 dan eos 400d

cuman saya orang no. 1 di kelas pas sekolah
karena nama saya berawalan huruf A
hehehe

:D

Monday, September 14, 2009

on progresio : AR4000

pernahkah anda mengerjakan sesuatu yang membuat anda kepikiran terus, capek karenanya, tidak tidur, lupa makan, dsb
Tapi anda tidak tahu apa yang sebenarnya anda kerjakan?



yeah, that's happen on my AR 4000 studio project!

diberi tugas, dikerjakan, tapi tidak tahu untuk apa...

tugas itu bernama : Tugas 1 : Apresiasi Konteks Lingkungan!!



Memang benar apa kata senior-senior saya dulu, ada peralihan yang sangat besar dari AR3000 ke AR 4000
dan saya merasakannya
lebih merasakannya lagi karena ada di bawah bimbingan Dr.-Ing. Ir. Widjaja Martokusumo, sang kordinator Studio.

apa yang saya kerjakan, saya tidak tahu untuk apa, semata-mata hanya untuk mengejar deadline dan asistensi yang hampir diadakan tiap hari.
Bagi saya itu sangat berbeda dengan studio-studio sebelumnya.
Karena memang saya tidak pernah terlalu peduli dengan asistensi, intinya adalah saya mahasiswa yang males-malesan di studio..lol

Selain itu juga mahasiswa studio ini dituntut lebih kritis dalam melihat sesuatu.


Sangat sulit pada awalnya, namun mungkin seperti itu cara belajar yang diterapkan Pak Widjaja,
berhari-hari kami berkutat dengan analisis, programming, bingung, merasa bodoh.
Soalnya, saya benar2 tidak tahu hubungannya apa programming-analisis-Issue-Fact-dsb dengan rancangan saya nanti, dan kenapa semua itu harus dituliskan padahal sudah ada di otak saya??
Dan di studio-studio sebelumnya hal seerti ini tidak pernah saya lakukan.

Tapi tidak sia-sia, kami disadarkan di saat preview tentang apa yang kami kerjakan.
Dan ternyata yang dikerjakan progress-nya jauh meninggalkan kelompok lain
*sombong*
hehehe

Itulah esensi belajar, dari tidak tahu jadi tahu, tidak mengerti jadi mengerti.
Dan setelah tahu dan mengerti akan membuat apa, semangat ber-studio muncul lagi.
dan keluarlah ide-ide/gagasan untuk desain saya..

:D

Oia, saya merancang Lifestyle Gallery di Jalan Merdeka


more images after the break , ntar gw upload image/sketsa-nya



tugas akhir saya apa ya?

ga berasa tiba-tiba sudah harus menentukan judul tugas akhir padahal baru saja menyelesaikan tingkat 3 di Arsitektur ITB.
Dulu, dulu banget sudah ada rencana tugas akhir mau ngedesain apa tapi rencana judul judul tugas akhir yang udah gw pikirin dan ingin dikerjakan pas TA itu udah lupa semua, dan sekarang saatnya berpikir lagi : Tugas Akhir saya apa ya?

Rencana dan keinginan sih memang sudah ada, disesuaikan dengan kemampuan juga sudah dan tentunya minat.
Kalau teman-teman bilang, saya itu pasti ga jauh-jauh dari perancangan tipologi museum, yang nyeni-nyeni lah...
tapi memang betul, saya minatnya itu...

Namun sampai sekarang masih bingung juga, karena bagi saya, TA adalah sesuatu yang sakral.
Terlalu berlebihan?
tapi bagi saya memang seperti itulah TA, tugas akhir dari semua tugas yang saya kerjakan dari TPB sampai AR4000. saya ingin yang terbaik. do the best for final project.
termasuk judul tugas akhirnya.... harus 'the best' jg...

Akhirnya saatnya untuk mengumpulkan usulan judul tugas akhir.
entah dapat ilham atau bagaimana, di detik-detik terakhir saya tiba-tiba kepikiran sebuah judul tugas akhir.
namanya Papua Cultural Center. Yap, Papua!... kenapa Papua?
Papua itu unik dan akan memberikan tantangan tersendiri untuk TA.
selain itu banyak potensi Indonesia Timur yang masih dapat ditelusuri..
Hal lainnya adalah karena saya mengagumi Renzo Piano dengan TjiBao cultural center-nya.
hehehe

Saya juga menuliskan judul tugas akhir
Rumah Seni WS Rendra
yah, sastrawan yang baru saja berpulang kepada Tuhan YME ini benar-benar menginspirasi saya.
Sebuah bait puisi beliau yang selalu ada di kepala saya :

Apalah Artinya Kesenian
Bila terpisah dari derita lingkungan

Apalah Artinya berpikir
Bila terpisah dari masalah kehidupan

sangat inspiratif dan menginspirasi saya untuk merancang suatu wadah berkegiatan kesenian bagi seniman-seniman yang tak mengecap bangku pendidikan formal.
ya, golongan seniman-seniman yang dekat dengan Alm. Rendra.
Karena itu saya namakan Rumah Seni. Bukan Galeri atau Museum. karena Rumah adalah sesuatu yang dekat, akrab dengan kehidupan kita.


Judul TA sudah ada, tinggal mempertahankannya didepan dosen pembimbing.
Tetapi, sampai sekarang pun saya masih memilih milih lagi tugas akhir saya, masih bingung rupanya.
:D

any idea?