Wednesday, September 23, 2009

architectural review: Shadow Metaphor

Tulisan ini dibuat atas permintaan Bapak Eko Purwono (Dosen Arsitektur ITB) untuk mata kuliah Teori Kritik Arsitektur.
Kebetulan saat itu sedang ada Pameran Tugas Akhir Arsitektur Universitas Taruma Negara. Dan saya diminta untuk mengulas salah satu karyanya.
Karena tulisan ini dan kuliah yang menyenangkan, saya jadi keranjingan untuk menulis.... :)

tapi maaf ya ga ada gambar karyanya.... :P

the Shadow Metaphor

Karya Tugas Akhir berjudul Shadow Metaphor ini diawali oleh keinginan perancang untuk menciptakan bangunan yang mampu mengajak masyarakat untuk lebih mencintai budaya wayang di Indonesia.

Karya tugas akhir ini menjadikan wayang sebagai analogi dari bentuk massa bangunannya. Hal itu dapat dilihat dari analogi dari wayang berupa bagian Kepala-Badan-Stik yang diwujudkan dalam rencana tapak berupa bentukan massa yang terdiri dari 3 massa utama yaitu perwujudan dari bentuk Wayang. Kemudian, massa tersebut memiliki fungsi yang menjadi elemen utama dari Bangunan ini yaitu Teater Wayang Orang, BlackBox theater, dan Galeri.
Perancang banyak mengambil analogi dari Wayang. Hal serupa juga didapati pada elemen fasade bangunan.

Saya menduga perancang menganut langgam arsitektur modern-kontemporer karena hasil rancangannya tersebut banyak menggabungkan nilai-nilai lokal yang digabungkan dengan bentuk-bentuk kekinian yang seakan akan ingin merubah pemahaman masyarakat akan bentuk-bentuk arsitektur vernakular yang identik dengan sesuatu yang berbau budaya.

Satu hal yang menarik dari rancangan ini adalah pengalaman ruang yang tercipta akibat gubahan bentuk-bentuk yang sangat menarik dan eksploratif. Saya dapat merasakan dibawa melalui ruang yang sempit lalu terhenti di sebuah Lobby yang besar dengan langit-langit yang tinggi. Dari lobby itu kemudian pengguna memilih untuk melanjutkan perjalanannya akan kemana.
Ruang ruang yang tercipta menjadi menarik karena eksplorasi bentuk yang terjadi. Seperti Arsitektur Dekonstruktif Zaha Hadid atau Libeskind.

Sebagai sebuah pusat wayang, perancang sadar akan kekayaan dari Wayang di Indonesia. Banyak sekali jenis wayang di Indonesia seperti : Wayang Orang, wayang golek, atau wayang orang.
Namun dalam konsep perancangan bangunan ini, perancang seakan-akan menyisihkan wayang-wayang lain yang juga adalah kekayaan budaya Indonesia.
Analogi Bentuk maupun inspirasi elemen fasade diambil dari analogi bentuk wayang kulit dari Jawa menjadikan rancangan ini sangat “Jawa”. Hal ni bertolak belakang dari tujuan awal perancang yang ingin mengenalkan budaya wayang di Indonesia. Hakikatnya sebuah bangunan budaya tidak menjurus kepada salah satu budaya saja sehingga konsep bangunan lebih Objektif dan tidak memihak kepada salah satu budaya.

Eksplorasi bentuk yang dilakukan perancang seakan menciptakan sebuah bangunan asing di Jalan HR Rasuna Said. Bangunan dengan aksis yang tidak teratur di tengah-tengah teraturnya kawasan Rasuna membuat bangunan ini menjadi aksen jika kita lihat dari google earth.
Selain itu, bangunan yang dirancang kurang merespon kondisi Iklim Tropis di Indonesia. Banyak bidang-bidang miring dan penggunaan material kaca serta bentuk atap yang tidak beraturan sehingga rawan bocor, panas, dan saya menduga bangunan ini menjadi sangat mahal dalam biaya perawatan dan operasionalnya.

Namun, terlepas dari aspek-aspek tersebut, keberanian bereksplorasi bentuk serta pengalaman-pengalaman ruang yang tercipta menjadikan karya tugas akhir ini layak menjadi contoh untuk mahasiswa-mahasiwa Arsitektur lainnya.

No comments: