Monday, January 4, 2010

jangan doraemon yang mengajari kita


"cita-citaku..u.u.u.u.. ingin jadi profesor. Bikin pesawat terbang...... "
"Kalau bisa terbang, ku antar Ibu ke pasar... kalau bisa terbang, ku antar ayah ke kantor..."


"cita-citaku ingin jadi arsitek, bikin bangunan.....
bangunan apa? yang bagaimana? seperti dimana?"

aku bahagia ketika aku kecil masih bisa bernyanyi lagu-lagu Joshua, dan Trio Kwek Kwek yang dulu aku bahkan tidak sadar bahwa lagu tersebut sarat akan nilai moral dan pesan lingkungan.
dan aku juga bahagia masa kecilku pernah dihabiskan bermain di sawah dan menangkap ikan meski hanya bersenjatakan tudung saji yang berfungsi sebagai jala ikan.

bisa dibilang aku terlambat mengenal modernisasi.
mesin mesin hiburan Jepang pun baru ku kenal ketika pindah ke Jakarta.



Kasihan...
Sekarang sulit ditemukan Joshua-joshua kecil yang bisa menghibur generasi-generasi setelahku.
aku sendiri belum tahu bakal seperti apa seorang anak yang tumbuh besar tanpa hadirnya Trio Kwek-Kwek dan Tina Toon kecil. Apakah jadi lebih baik?
Untungnya Doraemon dkk tetap setia mendidik mereka meskipun harus bersaing dengan doktrinasi pria-pria berdandan metal dengan lagu-lagu cinta dewasa nan cengeng yang kerap diidolakan oleh anak-anak sekarang.
Aku berharap Doraemon dan teman-temannya tidak cemburu dan patah semangat untuk memperjuangkan masa kecil anak-anak itu. Bahkan semangatnya akan melebihi orang tua anak-anak itu sendiri. (Ya, beberapa orang tua tidak sadar dan bahkan ikut terseret ke dalam situasi masa kecil anaknya yang hilang untuk dieksploitasi demi kepentingan ekonomi dan popularitas).
Ya (lagi), meskipun Doraemon juga bukan dari Indonesia.


Kita kehilangan yang seharusnya menjadi milik kita

Ketika berkaca dengan cermin arsitektur, bisa dibayangkan anak-anak itu akan berkarakter seperti apa dengan mengacu kasus yang terjadi di bidang Arsitektur Indonesia sebagai presedennya.
Masa kecil yang menjadi masa dimana dikenalkannya nilai-nilai moral, lingkungan, adat istiadat, etika, budaya, dan bla bla bla... ibarat saya di tingkat pertama sekolah arsitektur.

Dan bayangkan ketika masa itu direbut, dan digantikan dengan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan mental si kecil(mengutip jargon iklan), si kecil adalah mahasiswa arsitektur tingkat pertama yang polos dan tolol dalam hal Arsitektur.
Parahnya lagi apabila nilai-nilai baik yang tersisa tidak disampaikan dengan tepat, dalam hal ini adalah Doraemon yaitu pihak yang sebenarnya tidak begitu paham hal tersebut.
(maaf Dora, aku sayang kamu... )

lalu siapa yang harus menyampaikannya?
Gatot Katja lah yang paling pantas menyampaikannya, namun ia tidak seperkasa dulu lagi...

Proses ini terjadi di setiap angkatan selama berpuluh-puluh tahun yang akhirnya meninggalkan residu berupa terpinggirkannya Arsitektur Nusantara berikut segala kearifan lokalnya.
Ia kalah populer dibandingkan arsitektur yang secara intensif mendoktrin melalui berbagai media dan menciptakan pemahaman "mau gaul?ikutin gaya gue!"

Percayalah arsitektur Indonesia itu dahsyat, dan jangan membandingkan keren-kerenan siapa antara arsitektur Indonesia dengan Arsitektur di luar sana karena memang jelas berbeda.


Pungut, Rapihkan, Pelajari, Kembangkan.
 saatnya kita pungut harta-harta kita yang mulai hilang
menunggu saatnya tiba, kita tunjukkan kepada dunia kehebatan kita

sehingga anak Indonesia bisa bernyanyi :

"cita-citaku ingin jadi arsitek, bikin bangunan asik...bangunan 'sendiri'"
inspirasi negeriku, untuk Indonesia